Thursday, March 26, 2015

Melankoli Antara Nasi Sisa & Burung Dara

Saya tidak ingat kebiasaan ini dimulai sejak usia berapa. Apakah ini asalnya bermula?

Ada suatu momen di akhir pekan saat siang hari sewaktu saya masih kecil, berusia sekitar 10 tahun. Kami sekeluarga bersantai ria di rumah. Namun siang itu, ibu sedang tidur dan adikku bermain di luar, sehingga hanya ada aku dan bapak di rumah bersama. Bapak mengajakku makan siang dan akupun mengiyakannya. Kami duduk di kursi meja makan setelah menyiapkan piring dan sendok yang kami ambil dari dapur. Setelah tudung saji itu bapak buka, ada lauk pauk masakan bibi dan sepiring makan nasi putih di meja. Porsi nasi itu lebih banyak dari biasanya, seperti sengaja dikeluarkan dari Magic Com. Setelah aku cek isi dari Magic Com tersebut, benar saja perkirakaanku; sudah kosong. Setelah itu masing-masing dari kami mengambil satu centong nasi ke piring makan, sekitar 2 hingga 3 buah lauk, dan beberapa sendok sayur berkuah. Lalu, tak lupa aku menuju ke dapur kembali untuk mengambil gelas dan aku isi dengan air putih galon yang berada di pojok ruang makan.

Tiba-tiba, belum saja saya makan, bapak berujar dengan halus, "buang saja semua nasinya ya, sudah bau ternyata". Sepertinya bapak sudah makan duluan saat tadi aku mengambil gelas ke dapur. Aku yang sudah menahan lapar ini terkaget. "Apa iya sudah bau? Sepertinya tidak ah" tolakku dalam hati. Aku mencoba sesendok kecil nasi itu, "Iya memang agak bau sedikit, tapi tidak parah, sepertinya tidak apa jika aku makan, lagi pula sudah aku tuang juga sayurnya, sayang sekali", pikirku merasionalisasikan nasi itu berharap ada obat untuk perut yang mengaum ini.