Saya tidak ingat kebiasaan ini dimulai sejak usia berapa. Apakah ini asalnya bermula?
Ada suatu momen di akhir pekan saat siang hari sewaktu saya masih kecil, berusia sekitar 10 tahun. Kami sekeluarga bersantai ria di rumah. Namun siang itu, ibu sedang tidur dan adikku bermain di luar, sehingga hanya ada aku dan bapak di rumah bersama. Bapak mengajakku makan siang dan akupun mengiyakannya. Kami duduk di kursi meja makan setelah menyiapkan piring dan sendok yang kami ambil dari dapur. Setelah tudung saji itu bapak buka, ada lauk pauk masakan bibi dan sepiring makan nasi putih di meja. Porsi nasi itu lebih banyak dari biasanya, seperti sengaja dikeluarkan dari Magic Com. Setelah aku cek isi dari Magic Com tersebut, benar saja perkirakaanku; sudah kosong. Setelah itu masing-masing dari kami mengambil satu centong nasi ke piring makan, sekitar 2 hingga 3 buah lauk, dan beberapa sendok sayur berkuah. Lalu, tak lupa aku menuju ke dapur kembali untuk mengambil gelas dan aku isi dengan air putih galon yang berada di pojok ruang makan.
Tiba-tiba, belum saja saya makan, bapak berujar dengan halus, "buang saja semua nasinya ya, sudah bau ternyata". Sepertinya bapak sudah makan duluan saat tadi aku mengambil gelas ke dapur. Aku yang sudah menahan lapar ini terkaget. "Apa iya sudah bau? Sepertinya tidak ah" tolakku dalam hati. Aku mencoba sesendok kecil nasi itu, "Iya memang agak bau sedikit, tapi tidak parah, sepertinya tidak apa jika aku makan, lagi pula sudah aku tuang juga sayurnya, sayang sekali", pikirku merasionalisasikan nasi itu berharap ada obat untuk perut yang mengaum ini.
"Ayo cepat buang!", kali ini bapak menyuruhku lebih keras. Hatiku sedikit tersayat. Antara tidak tega membuang makanan sebanyak itu dan sedikit "tersakiti" dengan teriakan bapak yang cenderung membentak. Akhirnya kuikuti jua saran bapak. Sambil berjalan lunglai ke lorong dapur aku membawa sepiring nasi 'yang-kata-bapak-basi'. Di ujung lorong tersebut sudah berdiri sebuah tong plastik berbentuk tabung berselimutkan kantong kresek. Aku mendekatinya dengan mata yang tidak terasa telah berkaca-kaca. Aku miringkan piring itu sambil menggumamkan Al-Fatihah. Aku tidak mengerti mengapa tiba-tiba aku membaca surat pertama Al-Qur'an itu, padahal tidak pernah ada yang mengajariku doa saat membuang makanan. Seakan-akan keluar begitu saja dari mulutku - seketika. Mengikhlaskan nasi 'yang-kata-bapak-basi' itu tidak mudah. Aku tegarkan melakukannya hingga tidak tersisa satu butir pun. Oh, jika aku ingat diusiaku itu sungguh terasa momen yang sangat melankolis, tapi sangat lucu jika kuingat sekarang sambil menulisnya.
Ya, itu, mungkin itu titik awal momennya. Aku tidak pernah tega membuang makanan lagi, walaupun itu makanan basi. Bukan akhirnya masuk ke perutku. Namun, sebisa mungkin aku "memanfaatkannya" - dengan memberikannya kepada makhluk hidup lain yang masih membutuhkan makan, setidaknya baru itu yang aku bisa lakukan. Di rumah kami, sejak dulu makanan basi itu jarang terjadi, lebih sering makanan sisa. Ya, makanan 2 hari lalu yang masih tersisa dan sudah berkali-kali dipanasi - digoreng atau direbus kembali berulang-ulang - dan berada diambang ke-basi-an yang sebenarnya masih layak untuk dimakan. Orang di rumah hampir tidak berminat lagi untuk memakan makanan seperti itu. Dibuang sayang, dimakan juga tidak berselera.
Sayangnya, aku tidak pernah memiliki hewan peliharaan, maka, jika ada makanan sisa atau basi, apalagi makanan itu aku yang memasaknya, maka aku sempatkan letakkan di teras rumah terdepan dialasi piring, berharap kucing jalanan yang sering mengais-ngais makan dari tempat sampah itu mau memakannya. Berkali-kali aku mencoba cara ini ternyata cukup berhasil. Tanpa tersisa kucing-kucing itu menghabiskannya. Bahkan, jika ikan yang aku taruh, terkadang diawali pertengkaran untuk memperebutkannya. Ya, ternyata memang banyak kucing kelaparan di jalanan. Namun, beberapa kucing ternyata pemilih dalam hal makanan. Walaupun ia kucing jalanan yang sering hilir mudik di depan rumah dan tidak jelas siapa pemiliknya, kucing itu sering diberi makanan yang layak oleh beberapa tetangga kami. Alhasil, makanan sisa pun tidak jua dilahapnya.
Selain kucing ada hewan lain yang bisa kami beri makanan sisa, yaitu soang - ya, sejenis bebek. Kok bisa ada soang di komplek rumah? Bukanlah soang itu peliharaan warga komplek rumah, melainkan peliharaan tetangga bibi kami. Bibi yang seminggu 3 kali datang membantu membersihkan rumah dan pakaian itu tinggal di perkampungan dekat komplek rumah kami. Soang-soang di sana paling senang dengan nasi sisa. Jika ada nasi sisa yang begitu banyak atau hampir basi, pasti bibi tidak lupa untuk membawanya pulang ke rumahnya.
Waktu berlalu dan kini kami tinggal jauh dari kucing-kucing jalanan dan soang-soang yang dengan ikhlasnya mau melahap makanan sisa kami di rumah. Tidak tahu siapa yang bisa dijadikan harapan untuk melahapnya. Awal-awal kami begitu sering membuang makanan sisa karena di dapur kami, makanan begitu cepat kering dan mengeras, seperti nasi dan roti. Sayur-mayur dan buah-buahan pun cepat sekali menjadi layu dan keriput karena udara yang sangat kering dan kelembapan yang rendah. Kalau bukan sejenis sup berkuah dan nasi, aku tidak mengerti bagaimana memanaskan makanan yang kami makan di sini.
Hingga suatu hari, kami berjalan-jalan ke taman dan melihat seorang ibu tua membawa sepotong besar roti turki dan meletakkannya di bawah pohon pinus. Kami mendekatinya dan dengan seketika mendarat sekumpulan burung gereja dari atas pohon pinus tersebut. Dengan lahap burung gereja yang banyak sekali jumlahnya itu berebut memakan roti. Di sekitar rumah kami dan - aku mengira pula - di seluruh kota dan negeri ini banyak sekali burung yang hidup di rumah-rumah dan pepohonan di taman. Jika kau melihat mereka terbang berombongan di langit terbawa pusaran angin bagaikan gerombolan ikan di lautan lepas Lantas aku berpikir, begitu banyak burung yang hidup di sini, apa karena orang-orang sering memberikan makanan kepada mereka?
Beberapa hari kemudian saat kami memiliki roti sisa, kami letakkan di atas tempat membakar makanan di balkon luar di samping dapur. Tak dikira, beberapa detik kemudian 2 burung dara mendekat malu-malu dan kemudian lebih banyak lagi burung dara yang datang dan dalam waktu singkat melahap habis roti tersebut. Dan sejak saat itu aku temukan "aha!"-ku. Hari berganti dan makanan sisa yang kami beri-pun sedikit-demi sedikit berganti dengan nasi sisa, kacang-kacangan, sayuran sisa yang pada akhirnya dilahap habis juga semuanya. Terkadang jika makanan tersebut berbentuk potongan besar, aku harus memotongnya terlebih dulu. Dan sejak saat itu suamiku memberi julukan "anak-anak" kepada burung-burung dara yang datang mampir ke balkon rumah kami. Ya, tidak aneh juga jika disebut dengan "anak-anak", karena saat aku tidak memberi makan-pun mereka setia datang pada pagi hari seraya menunggu aku yang selesai memasak.
Kami bersimbiosis mutualis, sampah di rumah kami berkurang dan mereka pun kenyang.
MasyaAllah..
Terima kasih "anak-anakku" :)
No comments:
Post a Comment