Sunday, October 26, 2014

Saya, Kamu, Kita Ndeso! Yes!

Saya kenal dengan seseorang yang mengukur tingkat ndeso dan tidak-ndeso-nya seseorang dari kemampuannya berbahasa Inggris. Sekilas begitu memang yang populer di Indonesia. Supaya up to date, go international, dan mengglobal katanya. Bahkan harga produk bisa naik jika kita menamakannya dengan bahasa Inggris. (Pijat Wajah: Rp 15.000, Face Massage: Rp 85.000). Agak konyol ya, but thats true!!

Oke balik lagi soal tingkat ke-ndeso-an. Awalnya saya ditanya oleh orang tersebut, "Apa orang-orang Turki di sana bisa bahasa Inggris?". Saya jawab bahwa mayoritas orang-orang Turki di Konya berbahasa Turki, sedikit sekali yang bisa berbahasa Inggris. Kalau daerah metropolitan seperti İstanbul atau Ankara mungkin banyak yang bisa bahasa Inggris, karena selain kota besar di sana juga kota pariwisata. Jawabanku langsung disambut dengan timpalan yang mengagetkan, "Wah, ndeso banget ya ngga bisa bahasa inggris. Orang-orang Jogja-Solo saja bahasa Inggris-nya pinter." Sampai sini saya tarik nafas sebentar, berharap pendapatku selanjutnya tidak mengandung emosi dan tetap jernih dalam betutur kata. Lalu saya sampaikan, "Iya memang ndeso banget nih Konya," saya memvalidasi kata-katanya berharap biar seneng dan diiyakan, walaupun agak ngenes, "Namanya juga kota kecil, population density (kepadatan penduduk) di Konya cuman 50 jiwa per km2, sedangkan Jakarta 14.000 jiwa per km2." Mungkin konya ini setara seperti kampung saya di Kulon Progo mbukit-nggunung sana dalam hatiku.



Karena dia mencontohkan orang-orang Jogja-Solo pandai dalam berbahasa Inggris, lalu saya beri tahu kondisi real di Konya, "Walaupun ndeso, Konya ini banyak sekali taman yang terawat, ada air minum gratis, ada bis yang teratur jadwal kedatangannya di tiap halte, ada tramvay (baca: tramway), bersih rapih, dan hampir jarang sekali macet. Kalau konya masih dibilang ndeso, lebih ndeso mana sama Jakarta? Padahal di Jakarta orang yang pinter bahasa Inggris banyak sekali."

Sampai sini saya merasa menang telak berpendapat. Namun, tetap saja ditimpali "Lha, Jakarta sudah sesak, tidak bisa disamakan dengan Konya." Lalu saya kirim foto tramvay di Konya kepadanya. Dia mengomentari, "Wah seperti di Perancis yah," saya sendiri dan dia belum pernah ke Perancis padahal.

Tramvay di Konya. Rute Alaaddin
Tramvay Rute Alaaddin

Lalu saya kirim lagi foto-foto taman dan kompleks apartemen kami yang notabene BUKAN kompleks apartemen elit, melainkan kompleks apartemen biasa, yang menyewa juga orang-orang biasa seperti kami, juga para pensiunan, dan keluarga muda. Komentarnya lagi, "enak ya, tenang rasanya, asri banyak pohon." Akhirnya saya menyimpulkan bahwa dia menyadari Konya ini ndeso, tetapi seperti Perancis, asri, dan tenang (whuehehe). Tapi pembicaraan saya rasanya masih mengganjal, perlu ada pelurusan mind set sepertinya.


Taman Sarayı Bosna
Taman Dekat Rumah (Sarayı Bosna Parkı)

Rumah kami di samping masiid
Rumah Kami di Samping Masjid

Area hijau lain di kompleks Apartemen Hüzürkent
Taman di Dekat Rumah

Lalu kami berdiskusi lebih lanjut. Seperti sama-sama berpikir, "Mengapa Jakarta yang begitu banyak orang-orang pintar di dalamnya, cakap berbahasa Inggris, tapi memiliki kota yang begitu semerawut?". Menurut saya bukan masalah pintar atau cakapnya seseorang pada suatu keahlian - apalagi "hanya" cakap bahasa Inggris - untuk menjadikan Jakarta lebih baik. Butuh sesuatu yang lebih hakiki, sesuatu yang lebih original, yaitu mentalitas manusianya. Saya paham banyak kota di dunia, tidak hanya Konya, yang penduduknya hampir tidak bisa bahasa Inggris tapi makmur, tertib, bersih luar biasa. Saya membayangkan playground seperti di taman depan rumah ada di tengah-tengah taman di Jakarta. Prediksi saya playground itu akan dicoret-coreti, kalau ada kayu atau besi yang rusak diabaikan tak terawat, lebih parahnya lagi ada yang mencuri besi ayunan-nya untuk dikilo (dijual kiloan, seperti baut-baut rel kereta api).

Mentalitas seperti rasa memiliki dan mau merawat itulah yang kita butuhkan. Menjadikan lingkungan bersih, rapi, tertib adalah tanggung jawab bersama, bukan tanggung jawab pemerintah atau petugas dinas kebersihan. Kalau setiap orang di Indonesia, lebih khususnya Jakarta sebagai ibukota Indonesia bisa merubah mentalitasnya, saya yakin Indonesia bisa maju.

Yang kita butuhkan saat ini adalah kontemplasi mendalam kepada diri masing-masing.
Seberapa manfaatnya diriku pada diriku sendiri?
Seberapa manfaat kah diriku pada keluargaku?
Seberapa manfaat kah diriku pada lingkungan rumahku, sekolahku, dan pekerjaanku?
Seberapa manfaat kah diriku pada bangsaku?
Karena, "Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk orang lain" begitulah nasihat Rasullaah.

Biarlah kamu dibilang ndeso dan ngga bisa bahasa Inggris, bahkan ngga bisa apa-apa. Namun kamu bermanfaat, santun, tulus, hormat, dan baik bagi orang lain, InsyaAllaah, Allah ridho padamu. Semoga.

Ayo Indonesia Maju! Selamat Tahun Baru Hijriah 1436 H. (dan Tahun Baru 2015). Salam kami sekeluarga dari Konya.

#latepost

No comments:

Post a Comment