Beberapa kali saat kami sedang bermain bersama di taman depan rumah, saya mencoba bertegur sapa dengan ibu-ibu Turki yang saya jumpai juga sedang menemani gadis kecilnya bermain. Sebagaimana berbasa-basi sambil menjalin keakraban sekaligus mengasah bahasa Turki saya. Nyatanya harapan saya tidak selalu seperti yang diinginkan, artinya saya tidak selalu disambut dengan ramah. Terkadang kami menerima wajah aneh dan tekesan jutek dari mereka, daripada senyumannya.
Namun ada juga ibu-ibu lain yang saya sapa dan membalas sapaan saya. Anehnya, mereka kerap kali memulai pertanyaannya dengan, "Suriyeli?" / "Surie?"- "Apa kamu orang Suriah?" / "Suriah?". Bahkan pegawai kasir supermarket di dekat rumah-pun bertanya seperti itu juga. Wah.. wah.. apakah wajah saya yg sawo matang dan hidung berjongkok ini tidak cukup untuk menjawab ya? hehe.. Syukurlah ada yg mengira saya orang Malaysia; yang artinya hampir tepat, walaupun ada pula yang menebak Cina, Jepang, TTarTar, dan Kazaksthan.
Teman saya yang sedang kuliah tingkat akhir di Konya, sebut saja namanya Mbak Sholih, kemarin bercerita saat makan bersama di rumah. Ternyata baru beberapa tahun belakangan ini saja penerimaan warga Konya terhadap para yabancı (orang asing) itu kurang ramah. Padahal (aslinya) orang Turki itu sangat ramah terhadap musafir atau pendatang. Namun, sejak mulainya gelombang besar imigran Suriah ke Turki, sekitar tahun 2011, tidak demikian lagi halnya. Begitu ujarnya.
Saya jadi mengerti mengapa banyak yang bertanya apakah saya orang Suriah atau bukan, karena saat ini orang turki hanya mengenal para yabancı itu 'suriah' atau 'bukan-suriah'. Sebagai gambaran saja, imigran Suriah itu ada 1.6 juta orang di Turki. Ini setara dengan 16 kali kapasitas Stadion GBK Jakarta. Jumlah yang fantastis, bukan?
Kewajiban sebagai tuan rumah (Turki) bahwa imigran Suriah itu perlu dibantu adalah sangat benar. Namun, kenyataan sepertinya tidak berkata demikian. Para imigran Suriah ini bukan lagi "dianggap" sebagai musafir, mereka datang sebagai tamu yang "tidak mau" pulang - karena situasi dan kondisi negara Suriah yang belum kondusif pasca perang, yang akhirnya mau-tidak-mau harus hidup menetap bersama. Sayangnya, efek yang muncul di permukaan dari kejadian ini lebih banyak sentimen negatif daripada positifnya. Banyak efek sosial yang terjadi. Sebagai contoh saja, dulu warga Turki dilarang berjualan di pinggir jalan oleh pemerintah, tetapi sekarang banyak imigran Suriah yang melakukannya dan tidak didenda oleh pemerintah. Di satu sisi mereka (para imigran) perlu bekerja dan tetap mendapatkan penghasilan, tetapi berbenturan dengan peraturan. Cerita lainnya, ada orang-orang Suriah yang tidur di taman-taman umum karena tidak memiliki tempat tinggal. Beberapa diantara mereka ada yang merusak dan mengotori fasilitas atau tempat umum, ada pula yang menjadi pengemis, bahkan pencuri.
Walaupun demikian, saya yakin masih banyak orang-orang Suriah yang baik, mau menjaga tata krama, dan ketertiban di negara Turki ini. Seperti salah satu keluarga Suriah yang tinggal tidak jauh dari apartemen kami. Mereka ada keluarga terpelajar, rumahnya bersih dan rapih, dan agama islamnya kuat. Saya juga pernah diceritakan, ada orang Suriah yang menjadi guru bahasa Turki di tempat kursus di pusat kota.
Mungkin kejadian ini sebagaimana ada dalam pepatah Indonesia; "karena nila setitik rusak susu sebelanga". Hanya karena kesalahan kecil yang nampak seluruhnya menjadi rusak dan kacau.
No comments:
Post a Comment