Saya pernah berdiskusi dengan seseorang tentang sekolah. Pada saat itu saya masih duduk di salah satu SMA (yang katanya unggulan) di Jakarta. Ada sesuatu yang menggelitik pada perbincangan kami. Beliau - sebut saja namanya Pak Haryo - membuka diskusi dengan sebuah pertanyaan, "Mengapa harus ada 'Sekolah Unggulan'? lalu mengapa ada sekolah yang akhirnya secara tidak langsung menjadi 'Tidak Unggulan' atau kasarnya 'Cadangan' karena keberadaan 'Sekolah Unggulan' tersebut?". Pertanyaan Pak Haryo nampaknya tak perlu saya jawab karena ia yang seorang dosen pasti lebih tahu jawabannya daripada saya.
Pak Haryo menjelaskan layaknya dosen S1, dan seperti anak yang masih cetek pikirannya, saya seperti diberi opini-opini baru olehnya. Ia menerangkan sekolah sebagai suatu mekanisme proses pembelajaran dengan input manusia-tak-tahu lalu menghasilkan output manusia-tahu. Lalu beliau memberikan pengandaian suatu pabrik kain. Dalam alur produksi kain, untuk menghasilkan output kain-kain berkualitas, maka kita memerlukan input kapas dan serat-serat berkualitas tinggi ditambah dengan teknologi mesin pemintal dan tenun mutkahir. Ya, tentu saja saya sangat setuju dan mengangguk saat itu. Tak ada yang meragukan pernyataannya. Penjelasannya berlanjut, "Lalu apakah manusia seperti itu? Apakah sekolah seperti pabrik kain?". Kalau dipikir memang sekolah seperti pabrik, "pabrik pemikiran", tetapi alurnya tidak bisa disamakan.
Unggulan menurutnya terletak pada proses pendidikan itu sendiri. Bukan input manusianya. Jadi sekolah unggulan seharusnya mampu memproses, mendidik, menggembleng berbagai macam input jenis manusia menjadi output manusia yang unggul. Kalau perlu dikatakan, sekolah yang paling unggul adalah sekolah yang memiliki siswa-siswi yang tidak pintar, untuk selanjutnya dididik menjadi pintar atau bahkan unggul. Bukankah begitu gunanya sekolah? Untuk mendidik. Lalu kalau ada sekolahan mengambil anak-anak yang sudah pintar, itu namanya bukan sekolahan. Sekolah itu hanya cari laba dari anak-anak pintar. Laba dalam artian kekayaan intelektual siswa-siswinya maupun uang. Alih-alih menjadi lebih unggul dan excellent, mereka - yang sudah pintar ini - justru terhambat kecerdasannya dan bahkan menjadi "bodoh" di sekolahnya.
Wah, benar juga ya.. Tak pernah terpikir oleh saya tentang hal ini. Too good to be true sepertinya, seperti tak mungkin ada sekolah seperti itu. Butuh gembelengan dan didikan dengan cara khusus dan berbeda dari biasanya. Seandainya ada sebuah sekolah atau setidaknya sebuah proses pendidikan di Indonesia yang bisa menggembleng anak-anak dari Sabang sampai Merauke menjadi sama unggulnya, maka tidak ada lagi anak kota yang lebih pintar dari anak pedalaman. Semua sama unggulnya.
Saya jadi teringat sebuah film Jepang berjudul "Gokusen". Film ini ber-genre drama dan komedi dan sangat inspiratif sekali. Bercerita tentang seorang anak wanita dari sebuah keluarga Yakuza (mafia jepang) yang tidak mau meneruskan pekerjaan keluarganya sebagai mafia, tetapi ia memutuskan untuk menjadi guru SMA. Ia ditempatkan pada sekolah anak-anak nakal dan bandel, sering bolos sekolah, berkali-kali tidak naik kelas, suka tawuran, nilai selalu buruk, dan lulusannya tidak pernah diterima di universitas terbaik di Jepang. Tentunya sekolah tersebut bukanlah sekolah unggulan. Namun dengan kerja kerasnya, karakternya yang kuat, gigih, dan mau ikut menyelesaikan masalah muridnya satu per satu, bahkan ikut tawuran melawan geng rival sekolah tersebut karena memang pintar bela diri, akhirnya murid-murid didikannya menjadi berprestasi, lulus seluruhnya, dan mampu mengantarkan mereka merealisasikan harapannya yang dahulu dipikir sangat tidak mungkin. Inspiratif bukan?
Begitu banyak harapan akan guru berkarakter kuat seperti tokoh utama pada film tersebut di Indonesia. Di SMA saya dahulu saja ada guru yang malas mengajar. Masuk kelas hanya memberi tugas membuat teka teki silang - padahal itu pelajaran biologi - lalu kami diminta untuk mengumpulkan tugas tersebut pada pertemuan berikutnya, selepas itu guru tersebut pergi lagi. Ya, pergi, jadi beliau hanya datang untuk beri tugas, tidak mengajar. Ah, dimana unggulannya? Sulit rasanya karena ini masalah karakter, tapi saya masih optimis, karena beberapa pendidik di Indonesia telah membuktikan hal tersebut. Seperti contohnya, Bapak Yohannes Surya, penggembleng anak-anak calon peserta olimpiade fisika internasional itu pernah mendidik beberapa anak papua yang setiap hari main di hutan dengan pakaian ala-kadarnya menjadi pemenang olimpiade fisika (beritanya bisa Anda simak dalam laman Republika berikut).
No comments:
Post a Comment