Thursday, June 18, 2015

Pengalaman Membuat Ikamet untuk Keluarga di Konya

Assalammu'alaikuum Wr.Wb..

Halo Sahabat semua, kali ini saya mau sharing pengalaman mengurus izin tinggal (bahasa Turki-nya Ikamet) di Konya yang pernah kami lakukan pada bulan Agustus 2014. Sebenarnya, saya tidak ikut mengurus secara detil, hanya suami dan seorang sahabat di Konya (yang kebetulan dia juga seorang mahasiswa yang sudah jago berbahasa Turki-nya) yang mengurus persyaratan Ikamet ini. Saya sendiri ikut mengurus pengajuan izin tinggal hanya saat diakhir, yaitu sewaktu foto diri dan penyerahan berkas di Kantor Polisi.

FYI, setiap daerah/propinsi di Turki bisa jadi berbeda ketentuannya, maka dari itu ada baiknya menanyakan info tentang Ikamet ini langsung di Kantor Polisi atau stakeholder terkait di daerah tujuan masing-masing di Turki. Tulisan saya ini bisa dijadikan informasi pendukung atau perkiraan bagi Sahabat semua disamping info utama tersebut.

***

Untuk membuat Ikamet, kita harus datang ke kantor Emniyet (kantor polisi) yang berwenang mengeluarkan Ikamet. Jika menggunakan kendaraan umum, kantor emniyet dapat dijangkau dengan bus nomer 8, 9, 11, dan 12 turun di Tapu Kadastro. Kantor Emniyet sendiri buka setiap hari kerja, yaitu mulai jam 8 pagi - 5 sore dengan melayani 30 pemohon, sesuai nomer antrian (300 s.d. 329). Namun, pada kenyataannya beberapa pemohon mengambil tidak hanya satu nomer antrian pada anjungan (karena tidak ada kontrol), sehingga sepertinya yang dilayani sehari tidaklah tepat 30 orang.

Thursday, March 26, 2015

Melankoli Antara Nasi Sisa & Burung Dara

Saya tidak ingat kebiasaan ini dimulai sejak usia berapa. Apakah ini asalnya bermula?

Ada suatu momen di akhir pekan saat siang hari sewaktu saya masih kecil, berusia sekitar 10 tahun. Kami sekeluarga bersantai ria di rumah. Namun siang itu, ibu sedang tidur dan adikku bermain di luar, sehingga hanya ada aku dan bapak di rumah bersama. Bapak mengajakku makan siang dan akupun mengiyakannya. Kami duduk di kursi meja makan setelah menyiapkan piring dan sendok yang kami ambil dari dapur. Setelah tudung saji itu bapak buka, ada lauk pauk masakan bibi dan sepiring makan nasi putih di meja. Porsi nasi itu lebih banyak dari biasanya, seperti sengaja dikeluarkan dari Magic Com. Setelah aku cek isi dari Magic Com tersebut, benar saja perkirakaanku; sudah kosong. Setelah itu masing-masing dari kami mengambil satu centong nasi ke piring makan, sekitar 2 hingga 3 buah lauk, dan beberapa sendok sayur berkuah. Lalu, tak lupa aku menuju ke dapur kembali untuk mengambil gelas dan aku isi dengan air putih galon yang berada di pojok ruang makan.

Tiba-tiba, belum saja saya makan, bapak berujar dengan halus, "buang saja semua nasinya ya, sudah bau ternyata". Sepertinya bapak sudah makan duluan saat tadi aku mengambil gelas ke dapur. Aku yang sudah menahan lapar ini terkaget. "Apa iya sudah bau? Sepertinya tidak ah" tolakku dalam hati. Aku mencoba sesendok kecil nasi itu, "Iya memang agak bau sedikit, tapi tidak parah, sepertinya tidak apa jika aku makan, lagi pula sudah aku tuang juga sayurnya, sayang sekali", pikirku merasionalisasikan nasi itu berharap ada obat untuk perut yang mengaum ini.

Tuesday, February 24, 2015

Bawaan Wajib Kami Saat Jalan-Jalan

Sudah 5 bulan kami sekeluarga tinggal di Konya, sebuah kota tua di tengah dataran Turki. Di kota ini kami banyak menghabiskan waktu jalan-jalan ke pusat kota dan beberapa taman dengan playground anak yang tersebar di seluruh kota. Saat jalan-jalan, saya lebih sering menitipkan barang bawaan di tas ransel milik suami saya, sedangkan saya sendiri hanya membawa handphone dan beberapa uang receh turkish lira di saku jaket.

Beberapa uang recehan Turkish Lira

Tuesday, January 20, 2015

Mengapa Harus Ada Sekolah Unggulan?

Saya pernah berdiskusi dengan seseorang tentang sekolah. Pada saat itu saya masih duduk di salah satu SMA (yang katanya unggulan) di Jakarta. Ada sesuatu yang menggelitik pada perbincangan kami. Beliau - sebut saja namanya Pak Haryo - membuka diskusi dengan sebuah pertanyaan, "Mengapa harus ada 'Sekolah Unggulan'? lalu mengapa ada sekolah yang akhirnya secara tidak langsung menjadi 'Tidak Unggulan' atau kasarnya 'Cadangan' karena keberadaan 'Sekolah Unggulan' tersebut?". Pertanyaan Pak Haryo nampaknya tak perlu saya jawab karena ia yang seorang dosen pasti lebih tahu jawabannya daripada saya.

Pak Haryo menjelaskan layaknya dosen S1, dan seperti anak yang masih cetek pikirannya, saya seperti diberi opini-opini baru olehnya. Ia menerangkan sekolah sebagai suatu mekanisme proses pembelajaran dengan input manusia-tak-tahu lalu menghasilkan output manusia-tahu. Lalu beliau memberikan pengandaian suatu pabrik kain. Dalam alur produksi kain, untuk menghasilkan output kain-kain berkualitas, maka kita memerlukan input kapas dan serat-serat berkualitas tinggi ditambah dengan teknologi mesin pemintal dan tenun mutkahir. Ya, tentu saja saya sangat setuju dan mengangguk saat itu. Tak ada yang meragukan pernyataannya. Penjelasannya berlanjut, "Lalu apakah manusia seperti itu? Apakah sekolah seperti pabrik kain?". Kalau dipikir memang sekolah seperti pabrik, "pabrik pemikiran", tetapi alurnya tidak bisa disamakan.

Unggulan menurutnya terletak pada proses pendidikan itu sendiri. Bukan input manusianya. Jadi sekolah unggulan seharusnya mampu memproses, mendidik, menggembleng berbagai macam input jenis manusia menjadi output manusia yang unggul. Kalau perlu dikatakan, sekolah yang paling unggul adalah sekolah yang memiliki siswa-siswi yang tidak pintar, untuk selanjutnya dididik menjadi pintar atau bahkan unggul. Bukankah begitu gunanya sekolah? Untuk mendidik. Lalu kalau ada sekolahan mengambil anak-anak yang sudah pintar, itu namanya bukan sekolahan. Sekolah itu hanya cari laba dari anak-anak pintar. Laba dalam artian kekayaan intelektual siswa-siswinya maupun uang. Alih-alih menjadi lebih unggul dan excellent, mereka - yang sudah pintar ini - justru terhambat kecerdasannya dan bahkan menjadi "bodoh" di sekolahnya.

Wah, benar juga ya.. Tak pernah terpikir oleh saya tentang hal ini. Too good to be true sepertinya, seperti tak mungkin ada sekolah seperti itu. Butuh gembelengan dan didikan dengan cara khusus dan berbeda dari biasanya. Seandainya ada sebuah sekolah atau setidaknya sebuah proses pendidikan di Indonesia yang bisa menggembleng anak-anak dari Sabang sampai Merauke menjadi sama unggulnya, maka tidak ada lagi anak kota yang lebih pintar dari anak pedalaman. Semua sama unggulnya.

Saya jadi teringat sebuah film Jepang berjudul "Gokusen". Film ini ber-genre drama dan komedi dan sangat inspiratif sekali. Bercerita tentang seorang anak wanita dari sebuah keluarga Yakuza (mafia jepang) yang tidak mau meneruskan pekerjaan keluarganya sebagai mafia, tetapi ia memutuskan untuk menjadi guru SMA. Ia ditempatkan pada sekolah anak-anak nakal dan bandel, sering bolos sekolah, berkali-kali tidak naik kelas, suka tawuran, nilai selalu buruk, dan lulusannya tidak pernah diterima di universitas terbaik di Jepang. Tentunya sekolah tersebut bukanlah sekolah unggulan. Namun dengan kerja kerasnya, karakternya yang kuat, gigih, dan mau ikut menyelesaikan masalah muridnya satu per satu, bahkan ikut tawuran melawan geng rival sekolah tersebut karena memang pintar bela diri, akhirnya murid-murid didikannya menjadi berprestasi, lulus seluruhnya, dan mampu mengantarkan mereka merealisasikan harapannya yang dahulu dipikir sangat tidak mungkin. Inspiratif bukan?

Begitu banyak harapan akan guru berkarakter kuat seperti tokoh utama pada film tersebut di Indonesia. Di SMA saya dahulu saja ada guru yang malas mengajar. Masuk kelas hanya memberi tugas membuat teka teki silang - padahal itu pelajaran biologi - lalu kami diminta untuk mengumpulkan tugas tersebut pada pertemuan berikutnya, selepas itu guru tersebut pergi lagi. Ya, pergi, jadi beliau hanya datang untuk beri tugas, tidak mengajar. Ah, dimana unggulannya? Sulit rasanya karena ini masalah karakter, tapi saya masih optimis, karena beberapa pendidik di Indonesia telah membuktikan hal tersebut. Seperti contohnya, Bapak Yohannes Surya, penggembleng anak-anak calon peserta olimpiade fisika internasional itu pernah mendidik beberapa anak papua yang setiap hari main di hutan dengan pakaian ala-kadarnya menjadi pemenang olimpiade fisika (beritanya bisa Anda simak dalam laman Republika berikut).


Friday, January 9, 2015

Suriye Misin? - Apa Kamu Orang Suriah?

Beberapa kali saat kami sedang bermain bersama di taman depan rumah, saya mencoba bertegur sapa dengan ibu-ibu Turki yang saya jumpai juga sedang menemani gadis kecilnya bermain. Sebagaimana berbasa-basi sambil menjalin keakraban sekaligus mengasah bahasa Turki saya. Nyatanya harapan saya tidak selalu seperti yang diinginkan, artinya saya tidak selalu disambut dengan ramah. Terkadang kami menerima wajah aneh dan tekesan jutek dari mereka, daripada senyumannya.

Namun ada juga ibu-ibu lain yang saya sapa dan membalas sapaan saya. Anehnya, mereka kerap kali memulai pertanyaannya dengan, "Suriyeli?" / "Surie?"- "Apa kamu orang Suriah?" / "Suriah?". Bahkan pegawai kasir supermarket di dekat rumah-pun bertanya seperti itu juga. Wah.. wah.. apakah wajah saya yg sawo matang dan hidung berjongkok ini tidak cukup untuk menjawab ya? hehe.. Syukurlah ada yg mengira saya orang Malaysia; yang artinya hampir tepat, walaupun ada pula yang menebak Cina, Jepang, TTarTar, dan Kazaksthan.

Teman saya yang sedang kuliah tingkat akhir di Konya, sebut saja namanya Mbak Sholih, kemarin bercerita saat makan bersama di rumah. Ternyata baru beberapa tahun belakangan ini saja penerimaan warga Konya terhadap para yabancı (orang asing) itu kurang ramah. Padahal (aslinya) orang Turki itu sangat ramah terhadap musafir atau pendatang. Namun, sejak mulainya gelombang besar imigran Suriah ke Turki, sekitar tahun 2011, tidak demikian lagi halnya. Begitu ujarnya.

Saya jadi mengerti mengapa banyak yang bertanya apakah saya orang Suriah atau bukan, karena saat ini orang turki hanya mengenal para yabancı itu 'suriah' atau 'bukan-suriah'. Sebagai gambaran saja, imigran Suriah itu ada 1.6 juta orang di Turki. Ini setara dengan 16 kali kapasitas Stadion GBK Jakarta. Jumlah yang fantastis, bukan?

Kewajiban sebagai tuan rumah (Turki) bahwa imigran Suriah itu perlu dibantu adalah sangat benar. Namun, kenyataan sepertinya tidak berkata demikian. Para imigran Suriah ini bukan lagi "dianggap" sebagai musafir, mereka datang sebagai tamu yang "tidak mau" pulang - karena situasi dan kondisi negara Suriah yang belum kondusif pasca perang, yang akhirnya mau-tidak-mau harus hidup menetap bersama. Sayangnya, efek yang muncul di permukaan dari kejadian ini lebih banyak sentimen negatif daripada positifnya. Banyak efek sosial yang terjadi. Sebagai contoh saja, dulu warga Turki dilarang berjualan di pinggir jalan oleh pemerintah, tetapi sekarang banyak imigran Suriah yang melakukannya dan tidak didenda oleh pemerintah. Di satu sisi mereka (para imigran) perlu bekerja dan tetap mendapatkan penghasilan, tetapi berbenturan dengan peraturan. Cerita lainnya, ada orang-orang Suriah yang tidur di taman-taman umum karena tidak memiliki tempat tinggal. Beberapa diantara mereka ada yang merusak dan mengotori fasilitas atau tempat umum, ada pula yang menjadi pengemis, bahkan pencuri.

Walaupun demikian, saya yakin masih banyak orang-orang Suriah yang baik, mau menjaga tata krama, dan ketertiban di negara Turki ini. Seperti salah satu keluarga Suriah yang tinggal tidak jauh dari apartemen kami. Mereka ada keluarga terpelajar, rumahnya bersih dan rapih, dan agama islamnya kuat. Saya juga pernah diceritakan, ada orang Suriah yang menjadi guru bahasa Turki di tempat kursus di pusat kota.

Mungkin kejadian ini sebagaimana ada dalam pepatah Indonesia; "karena nila setitik rusak susu sebelanga". Hanya karena kesalahan kecil yang nampak seluruhnya menjadi rusak dan kacau.